oleh: Didiet Budi Adiputro
LENSAINDONESIA.COM: Entah apa ini sebuah doktrin atau anggapan yang sudah dianggap sebagai sebuah kebenaran mutlak oleh hampir sebagian besar masyarakat Indonesia. Dalam setiap kesempatan selalu dikatakan bahwa Indonesia adalah negeri kaya akan sumber daya alam terutama potensi minyak yang melimpah. Padahal menurut Data Potensi Energi Nasional 2010 (Sumber: ESDM 2011) menunjukkan bahwa cadangan terbukti minyak Indonesia tinggal 3,7 miliar barel. Bandingkan dengan Venezuela yang memiliki cadangan minyak 296,5 miliar barel.
Pada 2011 lifting minyak Indonesia hanya mencapai 898 ribu barel per hari, jauh di bawah target APBN-Ferubahan 2011 sebesar 945 ribu barel per hari. Untuk urusan ini Presiden Soeharto memang lebih unggul. Pada saat lengser tahun 1998 saja, Presiden Soeharto masih mewarisi lifting minyak sekitar 1.5 juta barel per harinya. Apakah pemerintah SBY salah? Belum tentu juga, selain belum maksimalnya operasi beberapa blok minyak besar seperti Cepu, faktanya memang caangan minyak kita makin terbatas. Jadi memang pantas kita disbut net importer.
Baca juga: Pendidikan Jadi Pilar Jati Diri Bangsa dan Siswa di Tengah Egoisme Pemerintah dan Proyek Ujian Nasional
Tentu saja masalah yang timbul dari terbatasnya produksi minyak Indonesia, yaitu kita harus terus mengimpor minyak dari luar negeri untuk kebutuhan sehari – hari. Pada 2011 saja pemerintah mengeluarkan subsidi sebesar Rp. 165 triliun, membengkak dari perkiraan semula yakni Rp.129 triliun. Ternyata konsumsi bbm bersubsidi oleh masyarakat amat besar. Efeknya? Ya tentu saja anggaran APBN bisa jebol, sehingga bisa mengorbankan kepentingan masyarakat lain seperti membangun sara pendidikan, kesehaan, infrastruktur dll.
Karena minyak merupakan premis penting bagi perekonomian masyarakat dan juga amat berpengaruh pada situasi politik, maka pemerintah memutuskan pada bulan April 2012, untuk membatasi konsumsi BBM bersubsidi. Caranya, kendaraan pribadi tidak boleh mengkonsumsi premium. Meskipun ujicoba ini akan diterapkan dulu di Jwa dan Bali, banyak pihak menyangsikan keputusan ini akan berjalan mulus.
Penimbunan , penyelundupan, dan potensi penyalahgunaan lain sudah terbayang jelas di depan mata. Sekedar ilustrasi, dari 3.062 pompa bensin yang ada di Jawa – Bali, baru sekitar 20.80 SPBU yang memiliki infrastruktur untuk menjual pertamax. Apalagi konflik politik antara Iran dan Sekutu di selat Hormuz membuat harga minyak terus stabil merangkak naik. Wacana menaikan harga premium sebesar Rp.1000 per liter yang dilontarkan Wamen ESDM Prof. Widjajono Partowidagdo pada November lalu, buru – buru diralat oleh bosnya Jero Wacik.
Selain menaikan BBM, pemerintah juga menghimbau agar masyarakat mengkonversi bahan bakarnya ke BBG yang lebih irit dan murah.Meskipun cemerlang, ide ini lebih berat lagi implementasinya, karena ketidksesiaan infrastruktur dan biaya konversi yang tidak murah. Sementara belum terlihat adanya insentif dari pemerintah untuk membuat ide ini terwujud. Di Australia, pemerintah memberikan subsidi sekitar 1000 Dollar Australia bagi setiap mobil yang ingin mengkonversi bahan bakarnya menjadi BBG. Setelah pemerintah menghimbau secara resmi warganya unuk mengkonversi kendaraannya dari BBM ke BBG. Memang terlihat mahal di awal tapi bak untuk keberlangsungan pasokan energi dan lebih ramah terhadap lingkungan.ian
ensaindonesia.com/thumb/350-630-1/uploads--1--2012--02--BBM-NAIK-SDA-.jpg" align="left" hspace="10" />